Pemanfaatan Limbah Kelapa Sawit Dalam Sektor Peternakan
PENDAHULUAN
Ketergantungan akan komponen impor bahan penyusun ransum unggas yang semakin mahal, menyebabkan keterpurukan industri perunggasan dewasa ini. Disisi lain, dampak negatif sebagai akibat pergeseran fungsi lahan pertanian menjadi non-pertanian yang terus meningkat sangat dirasakan usaha ternak ruminansia. Sumber dan ketersediaan hijauan yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak menjadi terbatas.
Meskipun limbah pertanian selalu dikaitkan dengan harga yang murah, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam pemanfaatannya. Faktor dimaksud adalah kontinuitas ketersediaan, kandungan gizi, kemungkinan adanya faktor pembatas seperti zat anti nutrisi serta perlu tidaknya bahan tersebut diolah sebelum dapat digunakan sebagai pakan. Hasil-hasil penelitian tentang pemanfaatan beberapa limbah pertanian seperti dedak padi, limbah singkong, bungkil kelapa, limbah kelapa sawit, ampas tahu, limbah udang, kakao pod, batang pisang dan daun rami dalam pakan ternak ruminansia (sapi dan domba) dan non-ruminansia (ayam ras, ayam buras dan itik) merrupakan bagian dari pakan inkonvensional.
Pengembangan peternakan khususnya ruminansia pada kawasan perkebunan kelapa sawit dapat memanfaatkan sumber pakan berupa limbah kelapa sawit antaral ain, bungkil inti sawit, serat sabut buah sawit, dan lumpur sawit. Pemakaian limbah perkebunan memerlukan sentuhan teknologi agar pemanfaatannya optimum bagiternak. Usaha-usaha pemanfaatan limbah perkebunan kelapa sawit yang berkualitas rendah dapat dilakukan dengan sentuhan teknologi antara lain, peningkatkan kecernaan struktural karbohidrat dengan perlakuan kimiavvi (amoniasi), fisik, dan biologis (fermentasi). Limbah solid asal kelapa sawit merupakan perbaikan nutrisi protein pakan ternak ruminansia Dalam makalah ini akan dikupas pemamfaatan kelapa sawit sebagai pakan ternak pada daerah Kalimantan Tengah.
Hal Inilah Yang Melatar Belakangi Pembuatan Makalah Ini Dengan Judul Pemanfaatan Limbah Kelapa Sawit Dalam Sektor Peternakan.
PEMBAHASAN
A. Mengenal Limbah Solid
Perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Tengah mempunyai potensi daya dukung untuk pengembangan peternakan,yaitu sebagai sumber pakan baik pakan hijauan maupun pakan dari limbah pengolahan minyak kelapa sawit. Salah satu limbah yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak adalah solid. Produksi limbah tersebut di Kabupaten Kotawaringin Barat mencapai 18−21 t/hari/pabrik. Bila limbah tersebut dimanfaatkan sebagai pakan, jumlah tersebut dapat menampung + 155.000 ekor sapi/hari. Solid mengandung bahan kering 81,56%, protein kasar 12,63%, serat kasar 9,98%, lemak kasar 7,12%, kalsium 0,03%, fosfor 0,003%, dan energi 154 kal/100 g. Pemberian solid dalam bentuk segar secara ad libitum kepada sapi PO jantan memberikan pertambahan bobot badan harian (PBBH) 770 g/ekor/hari. Pada domba, pemberian solid 1% dari bobot badan, baik dalam bentuk segar, complete feed block (CFB) tanpa fermentasi maupun CFB fermentasi masing-masing memberikan PBBH 45, 64, dan 83 g/ekor/hari.
Solid merupakan salah satu limbah padat dari hasil pengolahan minyak sawit kasar. Di Sumatera, limbah ini dikenal sebagai lumpur sawit, namun solid biasanya sudah dipisahkan dengan cairannya sehingga merupakan limbah padat. Ada dua macam limbah yang dihasilkan pada produksi CPO, yaitu limbah padat dan limbah cair. Saat sekarang ini produksi limbah solid di dua pabrik pengolahan CPO di Kabupaten Kotawaringin Barat sekitar 36−42 t/hari (rata-rata 20 t/pabrik/hari). Jumlah limbah solid yang dihasilkan bergantung pada TBS yang diolah. Produksi TBS akan makin bertambah pada masa mendatang seiring dengan makin luasnya area perkebunan kelapa sawit yang berproduksi. Diharapkan dalam setiap 10.000 ha berdiri satu pabrik pengolahan CPO.
Pemeliharaan ternak (sapi) sebag iusaha sambilan kurang menguntungkan apabila memanfaatkan solid sebagai pakan karena akan menambah biaya produksi, berupa biaya angkut dari pabrik ke lokasi peternak. Kondisi ini dapat menghambat adopsi teknologi pemanfaatan solid. Solid akan dimanfaatkan secara luas oleh peternak apabila pemeliharaan ternak bersifat komersial misalnya penggemukan. Strategi yang dapat ditempuh untuk memaksimumkan pemanfaatan solid sebagai pakan adalah melalui kemitraan antara petani dan pemerintah daerah ataupun pihak swasta.
B. Limbah Solid sebagai Pakan Ternak
Industri kelapa sawit menghasilkan limbah yang berpotensi sebagai pakan ternak, seperti bungkil inti sawit, serat perasan buah, tandan buah kosong, dan solid . Bungkil inti sawit mempunyai nilai nutrisi yang lebih tinggi dibanding limbah lainnya dengan kandungan protein kasar 15% dan energi kasar 4.230 kkal/kg sehingga dapat berperan sebagai pakan penguat (konsentrat). Namun, bungkil inti sawit di Kalimantan Tengah merupakan komoditas ekspor yang harganya relative mahal sehingga bukan merupakan limbah, dan akan menjadi bahan pakan yang mahal bila diberikan pada ternak. Serat perasan buah dan tandan buah kosong bersama-sama dengan cangkang biasanya dibakar dijadikan abu untuk dimanfaatkanm sebagai pupuk sumber kalium.
Perluasan kebun kelapa sawit di Kalimantan Tengah ditargetkan mencapai area 1.557.752 ha. Apabila tanaman kelapa sawit sudah berproduksi semua, dan setiap 10.000 ha terdapat satu pabrik, maka dalam kebun seluas itu akan terdapat 155 pabrik pengolahan kelapa sawit. Apabila tiap pabrik rata-rata menghasilkan solid 20 t/hari maka setiap hari akan diperoleh 3.100 ton solid. Apabila seekor sapi dapat mengkonsumsi solid + 20 kg/hari (jumlah yang biasa diberikan peternak pada sapi dengan rata-rata bobot badan 250 kg), maka produksi limbah tersebut akan dapat mencukupi kebutuhan pakan bagi + 155.000 ekor sapi/ hari. Dengan demikian, keberadaan perkebunan kelapa sawit sangat menpengembangan peternakan baik dalam skala menengah maupun besar. Apalagi saat ini perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Tengah berkembang cukup pesat dengan target area 1.557.752 ha yang tersebar di Kabupaten Kotawaringin Barat 644.845 ha, Kotawaringin Timur 700.000 ha, dan sisanya 212.857 ha tersebar di Kabupaten Barito Utara, Barito Selatan, Kapuas, dan Palangkaraya. Perkebunan kelapa sawit mempunyai potensi daya dukung untuk pengembangan peternakan sebagai sumber pakan ternak, baik yang berupa hijauan yang tumbuh di kawasan perkebunan maupun limbah pabrik pengolahan minyak kelapa sawit (crude palm oil = CPO). Melalui keterpaduan dengan tanaman perkebunan, upaya pengembangan ternak ternyata menunjukkan hasil yang positif .
Kendala utama pengembangan ternak di area perkebunan kelapa sawit adalah rendahnya kandungan gizi rumput alam. Hasil pemeriksaan laboratorium terhadap berbagai jenis rumput yang tumbuh di perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Kotawaringin Barat menunjukkan kandungan bahan kering 83,15%, protein kasar 7,27%, karbohidrat 14,32%, lemak kasar 1,84%, kalsium 0,08%, fosfor 0,004%, dan energi 102,02 kal/100 g . Jumlahnya pun masih jauh dari mencukupi, terlebih pada musim kemarau. Berdasarkan hasil monitoring, kapasitas tampung ternak mhanya mencapai 0,70 ekor/ha/tahun, jauh lebih rendah dibandingkan bila mengintroduksikan rumput unggul (rumput raja) di kawasan perkebunan dengan kapasitas tampung mampu mencapai 6,06 ekor/ha/tahun. Selain itu, kandungan nutrisinya juga lebih tinggi. Keberhasilan pengembangan peternakan sangat ditentukan oleh penyediaan pakan ternak . Upaya peningkatan produksi ternak tidak cukup hanya dengan memberikan rumput alam saja, tetapi perlu adanya pakan tambahan. Pakan tambahan yang potensial untuk dimanfaatkan adalah limbah kelapa sawit yang berupa “solid”.
Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan bahwa solid berpotensi sebagai sumber nutrisi baru untuk ternak dengan kandungan bahan kering 81,56%, protein kasar 12,63%, serat kasar 9,98%, lemak kasar 7,12%, kalsium 0,03%, fosfor 0,003%, dan energi 154 kal/100 g (Utomo et al. 1999). Pada uji preferensi terhadap 25 ekor sapi Madura, solid pada akhirnya sangat disukai, namun perlu waktu adaptasi 4−5 hari.
Pemanfaatan solid sebagai pakan ternak diharapkan dapat membantu mengatasi masalah ketersediaan pakan terutama pada musim kemarau, serta meningkatkan produktivitas ternak. Ratarata pertambahan bobot badan harian(PBBH) sapi milik petani di Kabupaten Kotawaringin Barat yang tidak diberi pakan solid jauh di bawah PBBH ternak yang diberi solid, yaitu hanya 250 g/ekor/ hari . Hal ini disebabkan kualitas dan kuantitas pakan yang diberikan, dalam hal ini rumput alam, relatif rendah.
Perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Tengah mempunyai potensi daya dukung untuk pengembangan peternakan,yaitu sebagai sumber pakan baik pakan hijauan maupun pakan dari limbah pengolahan minyak kelapa sawit. Salah satu limbah yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak adalah solid. Produksi limbah tersebut di Kabupaten Kotawaringin Barat mencapai 18−21 t/hari/pabrik. Bila limbah tersebut dimanfaatkan sebagai pakan, jumlah tersebut dapat menampung + 155.000 ekor sapi/hari. Solid mengandung bahan kering 81,56%, protein kasar 12,63%, serat kasar 9,98%, lemak kasar 7,12%, kalsium 0,03%, fosfor 0,003%, dan energi 154 kal/100 g. Pemberian solid dalam bentuk segar secara ad libitum kepada sapi PO jantan memberikan pertambahan bobot badan harian (PBBH) 770 g/ekor/hari. Pada domba, pemberian solid 1% dari bobot badan, baik dalam bentuk segar, complete feed block (CFB) tanpa fermentasi maupun CFB fermentasi masing-masing memberikan PBBH 45, 64, dan 83 g/ekor/hari.
Solid merupakan salah satu limbah padat dari hasil pengolahan minyak sawit kasar. Di Sumatera, limbah ini dikenal sebagai lumpur sawit, namun solid biasanya sudah dipisahkan dengan cairannya sehingga merupakan limbah padat. Ada dua macam limbah yang dihasilkan pada produksi CPO, yaitu limbah padat dan limbah cair. Saat sekarang ini produksi limbah solid di dua pabrik pengolahan CPO di Kabupaten Kotawaringin Barat sekitar 36−42 t/hari (rata-rata 20 t/pabrik/hari). Jumlah limbah solid yang dihasilkan bergantung pada TBS yang diolah. Produksi TBS akan makin bertambah pada masa mendatang seiring dengan makin luasnya area perkebunan kelapa sawit yang berproduksi. Diharapkan dalam setiap 10.000 ha berdiri satu pabrik pengolahan CPO.
Pemeliharaan ternak (sapi) sebag iusaha sambilan kurang menguntungkan apabila memanfaatkan solid sebagai pakan karena akan menambah biaya produksi, berupa biaya angkut dari pabrik ke lokasi peternak. Kondisi ini dapat menghambat adopsi teknologi pemanfaatan solid. Solid akan dimanfaatkan secara luas oleh peternak apabila pemeliharaan ternak bersifat komersial misalnya penggemukan. Strategi yang dapat ditempuh untuk memaksimumkan pemanfaatan solid sebagai pakan adalah melalui kemitraan antara petani dan pemerintah daerah ataupun pihak swasta.
B. Limbah Solid sebagai Pakan Ternak
Industri kelapa sawit menghasilkan limbah yang berpotensi sebagai pakan ternak, seperti bungkil inti sawit, serat perasan buah, tandan buah kosong, dan solid . Bungkil inti sawit mempunyai nilai nutrisi yang lebih tinggi dibanding limbah lainnya dengan kandungan protein kasar 15% dan energi kasar 4.230 kkal/kg sehingga dapat berperan sebagai pakan penguat (konsentrat). Namun, bungkil inti sawit di Kalimantan Tengah merupakan komoditas ekspor yang harganya relative mahal sehingga bukan merupakan limbah, dan akan menjadi bahan pakan yang mahal bila diberikan pada ternak. Serat perasan buah dan tandan buah kosong bersama-sama dengan cangkang biasanya dibakar dijadikan abu untuk dimanfaatkanm sebagai pupuk sumber kalium.
Perluasan kebun kelapa sawit di Kalimantan Tengah ditargetkan mencapai area 1.557.752 ha. Apabila tanaman kelapa sawit sudah berproduksi semua, dan setiap 10.000 ha terdapat satu pabrik, maka dalam kebun seluas itu akan terdapat 155 pabrik pengolahan kelapa sawit. Apabila tiap pabrik rata-rata menghasilkan solid 20 t/hari maka setiap hari akan diperoleh 3.100 ton solid. Apabila seekor sapi dapat mengkonsumsi solid + 20 kg/hari (jumlah yang biasa diberikan peternak pada sapi dengan rata-rata bobot badan 250 kg), maka produksi limbah tersebut akan dapat mencukupi kebutuhan pakan bagi + 155.000 ekor sapi/ hari. Dengan demikian, keberadaan perkebunan kelapa sawit sangat menpengembangan peternakan baik dalam skala menengah maupun besar. Apalagi saat ini perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Tengah berkembang cukup pesat dengan target area 1.557.752 ha yang tersebar di Kabupaten Kotawaringin Barat 644.845 ha, Kotawaringin Timur 700.000 ha, dan sisanya 212.857 ha tersebar di Kabupaten Barito Utara, Barito Selatan, Kapuas, dan Palangkaraya. Perkebunan kelapa sawit mempunyai potensi daya dukung untuk pengembangan peternakan sebagai sumber pakan ternak, baik yang berupa hijauan yang tumbuh di kawasan perkebunan maupun limbah pabrik pengolahan minyak kelapa sawit (crude palm oil = CPO). Melalui keterpaduan dengan tanaman perkebunan, upaya pengembangan ternak ternyata menunjukkan hasil yang positif .
Kendala utama pengembangan ternak di area perkebunan kelapa sawit adalah rendahnya kandungan gizi rumput alam. Hasil pemeriksaan laboratorium terhadap berbagai jenis rumput yang tumbuh di perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Kotawaringin Barat menunjukkan kandungan bahan kering 83,15%, protein kasar 7,27%, karbohidrat 14,32%, lemak kasar 1,84%, kalsium 0,08%, fosfor 0,004%, dan energi 102,02 kal/100 g . Jumlahnya pun masih jauh dari mencukupi, terlebih pada musim kemarau. Berdasarkan hasil monitoring, kapasitas tampung ternak mhanya mencapai 0,70 ekor/ha/tahun, jauh lebih rendah dibandingkan bila mengintroduksikan rumput unggul (rumput raja) di kawasan perkebunan dengan kapasitas tampung mampu mencapai 6,06 ekor/ha/tahun. Selain itu, kandungan nutrisinya juga lebih tinggi. Keberhasilan pengembangan peternakan sangat ditentukan oleh penyediaan pakan ternak . Upaya peningkatan produksi ternak tidak cukup hanya dengan memberikan rumput alam saja, tetapi perlu adanya pakan tambahan. Pakan tambahan yang potensial untuk dimanfaatkan adalah limbah kelapa sawit yang berupa “solid”.
Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan bahwa solid berpotensi sebagai sumber nutrisi baru untuk ternak dengan kandungan bahan kering 81,56%, protein kasar 12,63%, serat kasar 9,98%, lemak kasar 7,12%, kalsium 0,03%, fosfor 0,003%, dan energi 154 kal/100 g (Utomo et al. 1999). Pada uji preferensi terhadap 25 ekor sapi Madura, solid pada akhirnya sangat disukai, namun perlu waktu adaptasi 4−5 hari.
Pemanfaatan solid sebagai pakan ternak diharapkan dapat membantu mengatasi masalah ketersediaan pakan terutama pada musim kemarau, serta meningkatkan produktivitas ternak. Ratarata pertambahan bobot badan harian(PBBH) sapi milik petani di Kabupaten Kotawaringin Barat yang tidak diberi pakan solid jauh di bawah PBBH ternak yang diberi solid, yaitu hanya 250 g/ekor/ hari . Hal ini disebabkan kualitas dan kuantitas pakan yang diberikan, dalam hal ini rumput alam, relatif rendah.
KESIMPULAN
Limbah kelapa sawit berupa solid berpotensi sebagai sumber nutrisi untuk ternak karena mengandung protein kasar 12,63% dan energi 154 kal/100 g, ketersediaannya melimpah, berkelanjutan, dan tidak bersaing dengan kebutuhan manusia. Pemanfaatan solid sebagai pakan tambahan dipengaruhi oleh system produksi, dan menguntungkan pada pemeliharaan dengan orientasi komersial (penggemukan). Ketersediaan solid di Kalimantan Tengah dapat memenuhi kebutuhan bagi 150.000 ekor sapi/hari apabila perkebunankelapa sawit di Kalimantan Tengah sudah berproduksi semua.
Peran aktif pemerintah daerah dan atau industri pengolah minyak kelapa sawit sangat diperlukan untuk memasyarakatkan pemanfaatan solid secara lebih luas.annya untuk peningkatan produksi daging (penggemukan). Pemanfaatan solid sebagai pakansuplemen ternak hanya menguntungkan pada usaha penggemukan atau berorientasi komersial
DAFTAR PUSTAKA
Aritonang, D. 1986. Perkebunan kelapa sawit sebagai sumber pakan ternak d Indonesia. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian V(4): 93−99.
Dinas Kehewanan Kalimantan Tengah. 2001. Kebijakan dan strategi pembangunan peternakan di Kalimantan Tengah tahun 2001−2005. Makalah disampaikan pada Temu Aplikasi Paket Teknologi dan Temu Informasi Pertanian Subsektor Peternakan 13−14 November 2001 di Balai Pengkajian Teknologi.
Kamaruddin, A. 1997. The effects of feeding palm oil by-products on the growth performance and nutrients utilization by growing lambs. Prosiding Seminar Nasional II Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak, 15−16 Juli 1997. Kerja Sama Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor dengan Asosiasi Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Indonesia (AINI), Bogor. hlm. 71−72.
Ketaren, P.P. 1986. Bungkil inti sawit dan ampas minyak sawit sebagai pakan ternak. WartaPenelitian dan Pengembangan Pertanian8 (4−6): 10−11.
Pasaribu, T., A.P. Sinurat, J. Rosida, T. Purwadaria, dan T. Haryati. 1998. Pengkayaan gizi bahan pakan inkonvensional melalui fermentasi untuk ternak unggas. 2. Peningkatan nilaigizi lumpur sawit melalui fermentasi. Edisi Khusus Kumpulan Hasil-hasil Penelitian Peternakan Tahun Anggaran 1996/1997. Buku III: Penelitian Ternak Unggas. BalaiPenelitian Ternak, Bogor
Dinas Kehewanan Kalimantan Tengah. 2001. Kebijakan dan strategi pembangunan peternakan di Kalimantan Tengah tahun 2001−2005. Makalah disampaikan pada Temu Aplikasi Paket Teknologi dan Temu Informasi Pertanian Subsektor Peternakan 13−14 November 2001 di Balai Pengkajian Teknologi.
Kamaruddin, A. 1997. The effects of feeding palm oil by-products on the growth performance and nutrients utilization by growing lambs. Prosiding Seminar Nasional II Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak, 15−16 Juli 1997. Kerja Sama Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor dengan Asosiasi Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Indonesia (AINI), Bogor. hlm. 71−72.
Ketaren, P.P. 1986. Bungkil inti sawit dan ampas minyak sawit sebagai pakan ternak. WartaPenelitian dan Pengembangan Pertanian8 (4−6): 10−11.
Pasaribu, T., A.P. Sinurat, J. Rosida, T. Purwadaria, dan T. Haryati. 1998. Pengkayaan gizi bahan pakan inkonvensional melalui fermentasi untuk ternak unggas. 2. Peningkatan nilaigizi lumpur sawit melalui fermentasi. Edisi Khusus Kumpulan Hasil-hasil Penelitian Peternakan Tahun Anggaran 1996/1997. Buku III: Penelitian Ternak Unggas. BalaiPenelitian Ternak, Bogor